Bayar
Pajaknya, tunaikan Zakatnya
Mau tidaknya seseorang Muslim membayar zakat
dan pajak sangat dipengaruhi, antara lain, oleh pemahamannya terhadap perbedaan
dan persamaan antara zakat dan pajak. Bila dia memahami bahwa zakat dan pajak
itu tidak ada perbedaannya karena sama-sama demi kemaslahatan umat dan bangsa,
ia akan hanya membayar zakat saja atau pajak saja.
Tapi,
dia akan membayarkan dua-duanya, zakat dan pajak, bila ia memahami bahwa memang
zakat dan pajak itu sama dalam hal tujuannya, yakni demi mencapai kesejahteraan
umat bangsa, tetapi berbeda sumber perintahnya, zakat diperintah oleh Allah
yang diatur dalam Al-Quran dan hadits, sedangkan pajak diperintah oleh negara
yang diatur dalam undang-undang (UU) dan peraturan-peraturan. Karena itu,
sosialisasi dan edukasi tentang zakat dan pajak ini perlu terus dilakukan
sehingga setiap Muslim sadar akan kewajibannya, baik sebagai Muslim yang taat
akan perintah Allah dan Rasul-Nya maupun sebagai warga negara yang patuh pada
perintah negara dan UU. Bila tak ada upaya penyadaran, dikhawatirkan masyarakat
ragu, apakah masih wajib zakat atas harta yang kena pajak? Sebab, ada yang
berpendapat, hanya dengan niat berzakat saja ketika membayar pajak, maka dia
tak perlu lagi membayar zakat. Kalau pendapat seperti itu diterima umat Islam,
yang sudah membayar pajak tidak akan lagi membayar zakat atau sebaliknya. Siapa
saja yang concern terhadap peningkatan kesadaran berzakat, tentu tak akan
setuju dengan pendapat yang menggugurkan zakat setelah melaksakan kewajiban
pajak. Salah satu yang tidak setuju itu adalah Ustaz Bachtiar Nasir, Lc.
Menurut Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) itu, memang
idealnya zakat itu dikelola oleh negara kalau negara itu Islam, tapi untuk Indonesia
saat ini, berdasarkan asnaf yang 8, banyak yang tidak bisa diselesaikan dengan
pajak, sehingga perlu ada upaya-upaya dari masyarakat untuk melakukan
pengumpulan zakat. “Jadi, saya kira pajak juga memang sangat strategis. Tapi,
bukan berarti kemudian tidak wajib zakat. Karena itu, pembayaran zakat harus
tetap berjalan karena pembayaran pajak tidak menghapus kewajiban zakat,”
katanya kepada majalah Zakat usai menjadi nara sumber pada peluncuran Quran
bagi Pemula di Istora Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Menanggapi
pendapat itu, Ustaz Bachtiar Nasir melihatnya dari sisi lain. Menurut dia,
orang Indonesia itu kalau disuruh pajak kadang-kadang kurang bersemangat dan
masih mencari cara untuk menghindari pajak, tapi kalau disuruh berzakat ada
semangat karena ada rasa ibadahnya. “Selain itu, secara syar’i ayat yang
mewajibkan zakat sudah sangat tegas sehingga zakat tak bisa lagi digantikan
dengan pajak,” tegasnya.
Sinergi
Mengacu pada pendapat Ustaz Bachtiar Nasir dan
ulama-ulama umumnya yang menyatakan bahwa zakat tidak bisa dipajakkan, begitu
pula pajak tak bisa dizakatkan, maka seorang Muslim wajib menjalankan kedua
kewajiban itu. Persoalannya, apakah ia mau? Umumnya ia enggan untuk melakukan
kedua kewajiban itu sekaligus karena merasa terbebani. Karena itu, zakat dan
pajak harus disinergikan. Tentang hal ini, Kakanwil Pajak Sulawesi Selatan,
Barat, dan Tenggara, Arfan, Ak. MBA. menyatakan bahwa sebagai bentuk sinergi,
saat ini zakat sudah masuk dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) sebagai
bagian dari fasilitas bagi wajib pajak untuk mengurangkan pembayaran zakatnya
ke dalam perhitungan pajak penghasilan terutangnya. Sinergi seperti inilah
memang yang saat ini diupayakan pemerintah. Tapi, beberapa muzaki ada yang
kurang puas dengan sinergi seperti ini karena zakat baru bisa mengurangi objek
pajaknya sendiri (tax deductible), bukan pajaknya. Misalnya, seseorang
berpenghasilan Rp20 juta per bulan, lalu berzakat 2,5% sebesar Rp500 ribu.
Maka, pajak yang dikenakan dari nominal bruto adalah Rp20 juta dikurangi Rp500
ribu, yaitu Rp19.500.000. Jika pajak yang dikenakan adalah 5%, ia harus
membayar pajak Rp9.75000. Jadi, bukan mengurangi pajak. Kalau mengurangi pajak,
nominal pajak yang harus kita bayar, dikurangi nominal zakat yang kita bayarkan
Karena pembayaran zakat kurang signifikan terhadap pengurangan pajak, maka ada
kelompok lain yang berpandangan bahwa sebagai langkah strategis dalam upaya
menggali potensi zakat dan sekaligus mengintegrasikan zakat dan pajak secara
lebih mendalam dalam perekonomian nasional, perlu ada kebijakan zakat sebagai
pengurang pajak secara langsung (tax credit). Menurut Muhammad Farid, dari
STAIN Watampone, Sulawesi Selatan, paling tidak ada dua argumentasi dasar yang
memperkuat pandangan yang kedua ini. Pertama, dari perspektif keuangan negara.
Ketika ada proses sinergi dan integrasi zakat pada kebijakan fiskal, maka ada
sejumlah manfaat yang didapat, yaitu perluasan basis muzaki dan wajib pajak
serta membantu meringankan beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam
hal anggaran pemberantasan kemiskinan. Dalam makalahnya Zakat dan Pajak untuk
Kesejahteraan, lebih lanjut dia menyatakan, melalui koordinasi yang baik antara
otoritas zakat dan otoritas pajak, maka identifikasi muzaki dan wajib pajak
akan semakin luas sehingga diharapkan, pendapatan pajak dan zakat akan semakin
meningkat. Ini dibuktikan secara empirik oleh Malaysia, yang pendapatan zakat
dan pajaknya justru kian meningkat setelah diberlakukannya kebijakan zakat
sebagai kredit pajak. Kedua, dari perspektif distribusi ekonomi, zakat dapat
menjadi alat distribusi ekonomi yang efektf. Zakat menjadi medium distribusi
kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin sehingga economic growth
with equity yang selama ini didengung-dengungkan dapat terwujud dengan baik.
Selanjutnya Farid menulis, efektivitas zakat dalam pemberantasan kemiskinan dan
peningkatan ekonomi kalangan dhuafa terbukti jelas dalam catatan dan analisis
BAZNAS yang menjelaskan bahwa jumlah mustahik yang mendapat bantuan zakat
mencapai 2,8 juta jiwa yang kalau dipersentasekan angka ini sama dengan 9,03
dari keseluruhan penduduk miskin di Tanah Air.
Sumber : Majalah Zakat edisi Maret-April 2015
(BAZNAS)