Minggu, 06 September 2015


Ustadz Subki: Keuangan Syariah Penuh Berkah


Pangsa pasar industri keuangan syariah di Indonesia memang baru di kisaran lima persen. Namun, biarpun masih kecil, yang penting berkualitas.
Ustad Subki Al Bughury | sumber gambar : http://www.ceritamu.com/
Ustadz Subki Al Bughury, mengakui bahwa ia mencintai keuangan syariah di Indonesia, meski terkadang regulasi kurang mendukung. “Saya tetap memilih syariah walau yang syariah marginnya kalau dihitung-hitung dua kali lipat dari konvensional,” tukas Subki.
Ia meyakini kendati pangsa pasar industri keuangan syariah di tanah air baru lima persen, keuangan syariah penuh dengan keberkahan. “Saya yakin karena industri keuangan syariah mengikuti aturan agama Allah. Karena aturan agama Allah itu nempel, saya yakin ada keberkahan disana,” jelas Subki
Ustadz yang pernah bermain di salah satu sinetron Indonesia ini pun mengisahkan pertemuannya dengan seorang teman asal Inggris yang anaknya mengambil kuliah S2 ekonomi Islam. Terheran-heran dengan keputusan anak sang teman, ia pun bertanya lebih lanjut tentang alasan mengambil kuliah ekonomi Islam.
“Ada teman dari Inggris yang anaknya kuliah S2 Ekonomi Islam dan penelitiannya di Malaysia dan Singapura, saya tanya kenapa ambil itu? Dia jawab karena diantara ekonomi lain goyang, ekonomi syariah stabil, ekonomi yang menentramkan. Anak teman saya yang dari Inggris itu bilang kalau ekonomi Islam itu memberikan kedamaian,” ungkap Subki.
Subki melanjutkan walau skala industri keuangan syariah di Indonesia masih kecil, tidak berarti selalu jelek. “Karena ada sekelompok kecil yang mampu mengalahkan kelompok besar sebagaimana yang dikisahkan di Al Quran. Jadi walau kecil yang penting berkualitas. Semoga ke depannya keuangan syariah di Indonesia lebih besar, jadi manfaatnya bisa dirasakan lebih banyak orang,” harapnya



Sumber : http://mysharing.co/

Krisis Rupiah, Momentum Tepat Buktikan Ekonomi Syariah Tahan Krisis
Industri ekonomi syariah di tanah air harus bisa membuktikan, bahwa ekonomi syariah ini lebih tahan terhadap krisis dibanding ekonomi konvensional. Bagaimana caranya?
Ilustrasi Rupiah Melemah | sumber gambar: ekbis.rmol.co
Pakar ekonomi syariah dari UIN Syarief Hidayatullah Jakarta – Prof Dr. M. Amin Suma mengatakan, fenomena anjlognya rupiah terhadap dollar AS yang berpotensi menjadi krisis ekonomi nasional, adalah momentum yang pas bagi industri ekonomi syariah di tanah air, guna membuktikan bahwa ekonomi syariah ini lebih tahan terhadap krisis.
“Memang ekonomi syariah masih sangat kecil saat ini di Indonesia ini, sehingga belum banyak pengaruhnya untuk menahan krisis seperti saat ini. Tapi paling tidak, momen gejolak moneter seperti saat ini, akan bisa membuktikan, bahwa ekonomi syariah lebih tahan krisis. Kalau di tahun 1998, perbankan syariah dengan Bank Muamalat bisa lolos, maka untuk ancaman krisis kali ini, saya harapkan ekonomi dan perbankan syariah juga bisa lolos,” papar Amin Suma kepada My Sharing akhir pekan lalu di Jakarta.
Menurut Amin Suma, momen krisis moneter seperti yang terjadi saat ini, akan bisa membuktikan kekuatan ekonomi syariah dibandingkan dengan ekonomi kapitalis yang rentan pengaruh krisis moneter dari luar.
“Biasanya dalam posisi krisis ini, akan kelihatan mana yang relatif aman dan tahan banting, dan juga mana yang rentan. Nah, masyarakat Indonesia nantinya yang akan bisa menilai sendiri. Jadi ini bisa jadi momentum yang tepat buat ekonomi syariah dan perbankan syariah di tanah air, untuk membuktikan daya tahannya terhadap krisis,” papar Amin Suma lagi.
Menurut Amin Summa, apabila nantinya terbukti dalam krisis kali ini ekonomi dan perbankan syariah mampu bertahan dan eksis, maka pemikiran masyarakat luas di tanah air akan menjadi berubah positif. Dan ini akan menjadi momentum yang tepat untuk lebih mengoptimalkan upaya-upaya membumikan iklim ekonomi syariah di tanah air.
“Pada akhirnya Pemerintah juga akan bisa melirik ekonomi syariah, dan bisa mempertimbangkannya menjadi solusi bagi ekonomi nasional,” demikian tutup Prof Dr. M. Amin Suma.

Sumber : http://mysharing.co/

Sumber : Koran Republika

Pembiayaan Syariah Membaik
Ilustrasi : Akad Syariah


JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencermati dampak relaksasi aturan uang muka pembiayaan syariah yang diterapkan sejak Juli 2015.
Pembiayaan syariah dinilai mulai membaik.
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB) OJK I Edi Setiadi menya - takan, selama aturan relaksasi uang muka pembiayaan syariah diterapkan, dampak terhadap per kembangan perusahaan pembiayaan syariah masih belum terlihat signifikan. Dampak perbaikan dinilai baru akan terlihat tiga bulan hingga empat bulan setelah kebijakan diberlakukan.
"Pertumbuhan (pembiayaan)
masih satu persen walaupun se cara aset sudah meningkat lebih dari dua persen," ungkap Edi kepada Republika, Kamis (3/9).
Direktur IKNB Syariah OJK Moch Muchlasin mengungkapkan, dampak kebijakan baru akan terlihat dalam tiga bulan sejak berlaku. Hal itu terlihat dari pengalaman 2012-2013 saat ada perubahan kebijakan.
Ia memprediksi relaksasi kebijakan uang muka pembiayaan syariah mulai berdampak pada September atau Oktober.
Meskipun, OJK menyadari relaksasi aturan tersebut terbit saat daya beli masyarakat sedang tu - run.
"Yang jelas sudah banyak yang izin untuk menjual produk sya riah lagi. OJK berharap betul ini bisa mendorong industri pem - biayaan syariah dan pembiayaan secara umum," ungkap Much - lasin.
Hingga Juni 2015, pangsa pasar IKNB Syariah tercatat mencapai 4,6 persen. Sedangkan, aset IKNB Syariah sekitar Rp 19 triliun.
Muchlasin menyatakan pangsa pasar IKNB Syariah ditargetkan bisa lima persen pada akhir tahun. "Semoga dengan diturunkannya uang muka, pangsa pasar pembiayaan syariah bisa naik," ujarnya.
Selain itu, OJK masih mengkaji usulan industri agar otoritas meninjau ulang syarat rasio pembiayaan bermasalah atau NPF sebelum menurunkan uang muka. "Otoritas tidak ingin me - nim bulkan trauma karena terlalu otoriter. OJK ikuti dinamika," ka ta Muchlasin.
Pembiayaan syariah juga lesu karena terdampak pelemahan industri otomotif. Sehingga, OJK mendorong perusahaan pembiaya an syariah untuk mengembangkan pasar.
Sebelumnya, OJK melalui Surat Edaran Nomor 19 Tahun 2015 dan Surat Edaran Nomor 20 Tahun 2015 memperlonggar kebijakan uang muka pembiayAan kendaraan bermotor. Pelong - garan uang muka sekitar lima persen hingga 10 persen. Aturan tersebut berlaku efektif 30 Juni 2015.
Namun, pelonggaran ini hanya berlaku bagi perusahaan pembiayaan syariah dan unit usa - ha syariah (UUS) yang memiliki NPF kurang dari lima persen.
Untuk pembiayaan ken - daraan roda dua, uang muka yang dikenakan sebesar 10 per - sen. Angka ini lima persen lebih kecil dari pembiayaan konvensional sebesar 15 persen.
Uang muka kendaraan roda dua pembiayaan syariah dan konvensional sebelumnya sama- sama dikenakan sebesar 20 persen. Bagi piutang UUS lebih dari 50 persen, uang muka ken daraan roda dua sebesar 15 persen.
Sementara untuk kendaraan roda empat atau lebih, besar uang muka disamakan antara konven sional dan syariah. Untuk roda empat atau lebih produktif 15 per sen dari sebelumnya 20 per sen.
Uang muka kendaraan roda empat atau lebih konsumtif sebesar 20 persen dari sebelum nya 25 persen. Jika piutang UUS lebih dari 50 persen, uang muka yang dikenakan sebesar 15 persen untuk kendaraan roda empat atau lebih produktif dan 20 persen untuk kendaraan roda empat atau lebih konsumtif.
Bagi perusahaan pembiayaan syariah dan UUS dengan NPF lebih dari lima persen, pelong - garan uang muka hanya berlaku untuk kendaraan roda dua sebesar 15 persen. Ini masih lebih kecil dibandingkan uang muka pembiayaan konvensional sebesar 20 persen.
Sumber : Koran Republika



Sabtu, 05 September 2015

OJK Beberkan Alasan Perbankan Syariah Alami Penurunan
Ilustrasi : website OJK | http://www.ojk.go.id/
Direktur Penelitian, Pengaturan, Pengembangan, dan Perizinan Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Gunawan Idat menyatakan perbankan syariah saat ini sedang mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal perbankan syariah.

"Faktor eksternalnya karena pelemahan ekonomi, dan faktor internalnya karena sinergi belum optimal, kapasitas permodalan yang belum memenuhi kategori buku tiga, dan dari sisi produk-produk dan inovasi produknya belum banyak," ujar Dhani pada acara Workshop Perbankan Syariah Untuk Guru dan tenaga Pengajar Tingkat Sekolah Menengah di Wilayah DKI Jakarta, Jakarta Selatan, Sabtu (5/9).

Ia menjelaskan bahwa faktor pelemahan ekonomi tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu penurunannya perbankan syariah di masyarakat. Dengan ditariknya dolar oleh Amerika dan Cina mengurangi mengurangi produksinya sehingga berakibat pada seluruh sektor ekonomi termasuk pula pada sektor perbankan syariah.

Menurutnya, faktor internal juga menjadi penambah keadaan perbankan syariah semakin sulit. Seperti masyarakat yang semakin banyak mengharapkan pelayanan terbaik dalam segi teknologi, produk-produk, dan sumber daya manusia.

Ditambah lagi, bank-bank syariah di Indonesia menurut Dhani masih berada dalam buku kategori satu dan dua. Mereka dalam segi permodalan masih sangat terbatas sehingga berakibat pula pada keterbatasan usaha.

"Artinya dibandingkan dari bank-bank konvensional besar yang ada di kategori buku tiga dan empat atau diatas lima triliun, bank-bank itu memiliki kapasitas usaha yang lebih baik, tersebut memiliki variasi usaha yang lebih banyak," jelas Dhani.

Dhani pun menambahkan, bahwa sinergi antara bank induk dan bank anak pun menjadi salah satu faktor internal yang melemahkan. Menurutnya, kebanyakan bank syariah merupakan anak dari bank konvensional dan kebanyakan sinergi antar bank induk dan bank anak belum kuat sehingga terlihat ketimpaan pada teknologi dan produk-produk.
Sudah seharusnya, bank anak atau bank syariah diberikan modal lebih dapat memberikan kesetaraan agar bisa memberikan kualitas layanan, SDM, dan kapasitas usaha yang baik.

Sumber : republika.co.id


Sumber : BAZNAS

Bayar Pajaknya, tunaikan Zakatnya
Mau tidaknya seseorang Muslim membayar zakat dan pajak sangat dipengaruhi, antara lain, oleh pemahamannya terhadap perbedaan dan persamaan antara zakat dan pajak. Bila dia memahami bahwa zakat dan pajak itu tidak ada perbedaannya karena sama-sama demi kemaslahatan umat dan bangsa, ia akan hanya membayar zakat saja atau pajak saja.
 Tapi, dia akan membayarkan dua-duanya, zakat dan pajak, bila ia memahami bahwa memang zakat dan pajak itu sama dalam hal tujuannya, yakni demi mencapai kesejahteraan umat bangsa, tetapi berbeda sumber perintahnya, zakat diperintah oleh Allah yang diatur dalam Al-Quran dan hadits, sedangkan pajak diperintah oleh negara yang diatur dalam undang-undang (UU) dan peraturan-peraturan. Karena itu, sosialisasi dan edukasi tentang zakat dan pajak ini perlu terus dilakukan sehingga setiap Muslim sadar akan kewajibannya, baik sebagai Muslim yang taat akan perintah Allah dan Rasul-Nya maupun sebagai warga negara yang patuh pada perintah negara dan UU. Bila tak ada upaya penyadaran, dikhawatirkan masyarakat ragu, apakah masih wajib zakat atas harta yang kena pajak? Sebab, ada yang berpendapat, hanya dengan niat berzakat saja ketika membayar pajak, maka dia tak perlu lagi membayar zakat. Kalau pendapat seperti itu diterima umat Islam, yang sudah membayar pajak tidak akan lagi membayar zakat atau sebaliknya. Siapa saja yang concern terhadap peningkatan kesadaran berzakat, tentu tak akan setuju dengan pendapat yang menggugurkan zakat setelah melaksakan kewajiban pajak. Salah satu yang tidak setuju itu adalah Ustaz Bachtiar Nasir, Lc. Menurut Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) itu, memang idealnya zakat itu dikelola oleh negara kalau negara itu Islam, tapi untuk Indonesia saat ini, berdasarkan asnaf yang 8, banyak yang tidak bisa diselesaikan dengan pajak, sehingga perlu ada upaya-upaya dari masyarakat untuk melakukan pengumpulan zakat. “Jadi, saya kira pajak juga memang sangat strategis. Tapi, bukan berarti kemudian tidak wajib zakat. Karena itu, pembayaran zakat harus tetap berjalan karena pembayaran pajak tidak menghapus kewajiban zakat,” katanya kepada majalah Zakat usai menjadi nara sumber pada peluncuran Quran bagi Pemula di Istora Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Menanggapi pendapat itu, Ustaz Bachtiar Nasir melihatnya dari sisi lain. Menurut dia, orang Indonesia itu kalau disuruh pajak kadang-kadang kurang bersemangat dan masih mencari cara untuk menghindari pajak, tapi kalau disuruh berzakat ada semangat karena ada rasa ibadahnya. “Selain itu, secara syar’i ayat yang mewajibkan zakat sudah sangat tegas sehingga zakat tak bisa lagi digantikan dengan pajak,” tegasnya.
Sinergi
 Mengacu pada pendapat Ustaz Bachtiar Nasir dan ulama-ulama umumnya yang menyatakan bahwa zakat tidak bisa dipajakkan, begitu pula pajak tak bisa dizakatkan, maka seorang Muslim wajib menjalankan kedua kewajiban itu. Persoalannya, apakah ia mau? Umumnya ia enggan untuk melakukan kedua kewajiban itu sekaligus karena merasa terbebani. Karena itu, zakat dan pajak harus disinergikan. Tentang hal ini, Kakanwil Pajak Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara, Arfan, Ak. MBA. menyatakan bahwa sebagai bentuk sinergi, saat ini zakat sudah masuk dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) sebagai bagian dari fasilitas bagi wajib pajak untuk mengurangkan pembayaran zakatnya ke dalam perhitungan pajak penghasilan terutangnya. Sinergi seperti inilah memang yang saat ini diupayakan pemerintah. Tapi, beberapa muzaki ada yang kurang puas dengan sinergi seperti ini karena zakat baru bisa mengurangi objek pajaknya sendiri (tax deductible), bukan pajaknya. Misalnya, seseorang berpenghasilan Rp20 juta per bulan, lalu berzakat 2,5% sebesar Rp500 ribu. Maka, pajak yang dikenakan dari nominal bruto adalah Rp20 juta dikurangi Rp500 ribu, yaitu Rp19.500.000. Jika pajak yang dikenakan adalah 5%, ia harus membayar pajak Rp9.75000. Jadi, bukan mengurangi pajak. Kalau mengurangi pajak, nominal pajak yang harus kita bayar, dikurangi nominal zakat yang kita bayarkan Karena pembayaran zakat kurang signifikan terhadap pengurangan pajak, maka ada kelompok lain yang berpandangan bahwa sebagai langkah strategis dalam upaya menggali potensi zakat dan sekaligus mengintegrasikan zakat dan pajak secara lebih mendalam dalam perekonomian nasional, perlu ada kebijakan zakat sebagai pengurang pajak secara langsung (tax credit). Menurut Muhammad Farid, dari STAIN Watampone, Sulawesi Selatan, paling tidak ada dua argumentasi dasar yang memperkuat pandangan yang kedua ini. Pertama, dari perspektif keuangan negara. Ketika ada proses sinergi dan integrasi zakat pada kebijakan fiskal, maka ada sejumlah manfaat yang didapat, yaitu perluasan basis muzaki dan wajib pajak serta membantu meringankan beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam hal anggaran pemberantasan kemiskinan. Dalam makalahnya Zakat dan Pajak untuk Kesejahteraan, lebih lanjut dia menyatakan, melalui koordinasi yang baik antara otoritas zakat dan otoritas pajak, maka identifikasi muzaki dan wajib pajak akan semakin luas sehingga diharapkan, pendapatan pajak dan zakat akan semakin meningkat. Ini dibuktikan secara empirik oleh Malaysia, yang pendapatan zakat dan pajaknya justru kian meningkat setelah diberlakukannya kebijakan zakat sebagai kredit pajak. Kedua, dari perspektif distribusi ekonomi, zakat dapat menjadi alat distribusi ekonomi yang efektf. Zakat menjadi medium distribusi kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin sehingga economic growth with equity yang selama ini didengung-dengungkan dapat terwujud dengan baik. Selanjutnya Farid menulis, efektivitas zakat dalam pemberantasan kemiskinan dan peningkatan ekonomi kalangan dhuafa terbukti jelas dalam catatan dan analisis BAZNAS yang menjelaskan bahwa jumlah mustahik yang mendapat bantuan zakat mencapai 2,8 juta jiwa yang kalau dipersentasekan angka ini sama dengan 9,03 dari keseluruhan penduduk miskin di Tanah Air.

Sumber : Majalah Zakat edisi Maret-April 2015 (BAZNAS)

#SpiritDakwah

#SalamEkonomiRabbani, Dakwah Kita Bersama Membumikan Ekonomi Islam, Mulai dari Lingkungan Sekitar Kita Ajak Saudara Kita Dukung #EkonomiIslam.

Bank Syariah Pertama Di Indonesia?

#MostTrending

#LinkMUI

#LinkBAZNAS

- See more at: http://tokohtml.blogspot.com/2013/02/widget-jadwal-sholat-ala-republika.html#sthash.RzgFXKpL.dpuf

#MutiaraHariIni

“ Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.Tidakkah orang-orang itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar,(yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam” (Q.S al-Mutaffiifin 1-6)

#JadwalShalat

#Popular Posts

#LogamMuliaHariIni

#KursRupiah

#LinkFoSSEI

#LinkPKES

#LinkOJKSyari'ah

#TweetSCiBe